Seorang Wartawan di Afghanistan Terjebak ditengah Konflik Antara Pemerintah dan Taliban

Kabul Ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis di wilayah konflik Afghanistan menyulitkan perdamaian. Perdamaian dan koeksistensi damai yang diinginkan rakyat mustahil dijamin tanpa partisipasi seluruh lapisan masyarakat, termasuk jika tanpa pers yang bebas dan independen.

Ancaman terbaru disampaikan kelompok Taliban dalam sebuah pernyataan resmi, Rabu (5/5/2021). Tekanan yang sama datang dari Direktorat Keamanan Nasional (NDS), sebuah badan intelijen negara, Afghanistan. Ancaman atau tekanan itu membuat pekerjaan profesional wartawan menjadi sulit.

uru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, memperingatkan bahwa para jurnalis Afghanistan bakal menghadapi konsekuensi buruk jika menyajikan informasi yang menguntungkan intelijen negara. Dia mengimbau wartawan menghentikan "berita sepihak yang mendukung intelijen Afghanistan".

Ancaman terbuka dari kelompok pemberontak Taliban itu muncul di tengah terus meningkatnya pembunuhan terhadap jurnalis di wilayah konflik Afghanistan. Juga terjadi ketika pasukan Amerika Serikat (AS) mulai berangsur-angsur menarik personel pasukannya dari Afghanistan.

Inggris dan AS melalui kantor kedutaan besar mereka masing-masing di Kabul, ibu kota Afghanistan, langsung mengecam Taliban. Ancaman Taliban dan kecaman dua negara sekutu tersebut kepada Taliban terjadi hanya dua hari setelah peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, 3 Mei 2021.

" Kami sangat mendukung media independen Afghanistan," cuit Ross Wilson, kuasa hukum AS di Kabul, di akun media sosial Twitter. "Kami mengecam sekuat mungkin kekerasan dan ancaman yang sedang berlangsung terhadap media dan upaya Taliban untuk membungkam jurnalis," kata Wilson seperti dilaporkan kantor berita Associated Press, Kamis (6/5/2021).

Pada Rabu kemarin, kelompok advokasi media terbuka Afghanistan mengungkapkan keprihatinan tentang pernyataan yang dibuat oleh Kepala Badan Intelijen atau NDS. Badan ini mengkritik beberapa media yang dituduh menyiarkan berita propaganda yang menguntungkan pemberontak Taliban.

Komentar Kepala NDS Afghanistan Ahmad Zia Seraj direspons oleh Arif Rahmani, anggota parlemen dari Provinsi Ghazni tengah. Rahmani mencuit di Twitter setelah ia menghadiri pertemuan pribadi anggota parlemen dengan Kepala NDS. Rahmani menceritakan pertemuan itu kepada AP.

Seraj ditanya oleh anggota parlemen tentang dugaan liputan pro-Taliban oleh beberapa media. Menurut Rachmani, Seraj mengatakan hal itu sebagai tanggapan bahwa akan ada konsekuensi hukum yang parah untuk semua media yang menyiarkan "propaganda teroris" tanpa menyebut nama media-media tersebut. Sejauh ini tidak ada komentar apa word play here dari NDS.

Komite Keamanan Jurnalis Afghanistan (AJSC), organisasi pengawas utama Afghanistan yang didedikasikan untuk mempromosikan keselamatan jurnalis dan kebebasan pers, mengecam pernyataan Taliban dan pejabat NDS tersebut.

" AJSC mengecam pernyataan juru bicara Taliban dan menganggapnya sebagai ancaman bagi jurnalis dan media," cuit AJCS di Twitter. AJSC meminta para pihak yang terlibat konflik harus tetap berkomitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai konvensi internasional.

Situs berita internal Reporters Without Boundaries (RSF) melaporkan, pada peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia (3 Mei), RSF dan Pusat Perlindungan Jurnalis Wanita Afghanistan (CPAWJ) menyuarakan kekhawatiran tentang nasib buruk media dan masa depan jurnalisme di Afghanistan.

Disebutkan, kebebasan pers sangat terancam selama 14 bulan terakhir sejak Taliban dan AS menandatangani nota kesepakatan damai di Doha, Qatar, 29 Februari 2020. Atau delapan bulan setelah perundingan damai Pemerintah Afghanistan dan Taliban (intra-Afghanistan) dimulai 12 September 2020.

" Setidaknya 20 jurnalis dan pekerja media telah menjadi korban serangan dalam enam bulan terakhir. Delapan orang, termasuk empat wanita, tewas. Sekitar 30 orang lainnya menerima ancaman pembunuhan sehubungan dengan pekerjaan jurnalistik mereka," tutur RSF.

Iklim teror terus berkembang, dan terutama berdampak kepada perempuan jurnalis, yang situasinya sudah genting. Dalam laporan tahunan terbaru yang diterbitkan pada Maret 2021, CPAWJ dilaporkan telah mendaftarkan lebih dari 100 kasus agresi, termasuk pembunuhan, ancaman pembunuhan, serangan fisik dan penghinaan kepada perempuan jurnalis dalam satu tahun ini.

" Kegentingan perempuan jurnalis Afghanistan telah meningkat tidak hanya sebagai akibat bahaya fisik, tetapi juga sebagai akibat karantina Covid-19," kata Direktur CPAWJ Farida Nekzad. "Sekitar 20 persen di antaranya kehilangan pekerjaan dan dipaksa ambil cuti tanpa upah oleh majikan mereka."

Ancaman dan kekerasan terhadap jurnalis berdampak langsung kepada media dan membuat pekerjaan mereka sangat berisiko. Mereka diharuskan melakukan swasensor pada banyak subyek, terutama berkaitan dengan kondisi perdamaian yang diberlakukan pasukan asing, faksi pemerintah, dan Taliban.

Sementara itu, kelompok Taliban mengancam jurnalis dan pemimpin media di beberapa provinsi di Afghanistan. Adapun para pejabat lokal menuntut wartawan atau media untuk menghentikan program siaran atau berita politik dan hiburan tertentu.

" Perdamaian dan koeksistensi damai yang diinginkan rakyat Afghanistan tidak mungkin dijamin tanpa partisipasi seluruh masyarakat. Juga tidak mungkin terwujud tanpa pers yang bebas dan independen," kata Reza Moini, Kepala Desk RSF Iran-Afghanistan.

RSF dan CPAWJ mengatakan, "Tanpa jaminan kebebasan pers, mereka tidak akan menikmati perdamaian yang adil dan abadi."

Menurut kedua organisasi tersebut, tindakan diperlukan untuk memberikan perlindungan yang layak kepada jurnalis dan memperkuat hukum. Juga memastikan penghormatan terhadap konstitusi dan dekrit Republik Islam Afghanistan, yang selama 19 tahun telah menjamin kebebasan pers, perlindungan jurnalis dan, khususnya, hak-hak perempuan jurnalis.

Negara berbahaya

Afghanistan merupakan salah satu negara paling berbahaya di dunia untuk para pekerja pers atau wartawan. Afghanistan berada di peringkat ke-122 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2021 yang dibuat oleh RSF.

Menurut UNESCO, sedikitnya 76 jurnalis tewas di wilayah konflik Afghanistan sejak 2006. Pada 2020 saja ada 15 wartawan tewas di Afghanistan. Pada awal 2021, tiga perempuan pekerja media dibunuh di Afghanistan timur.

Kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) saat itu mengklaim bertanggung jawab atas sejumlah pembunuhan, termasuk tiga wartawan itu. Pemerintah menuding kebangkitan Taliban, kelompok yang sekarang menguasai atau mengendalikan lebih dari separuh Afganistan, terkait dengan banyak kasus pembunuhan di negara itu. Namun, Taliban menuding balik intelijen Afghanistan sebagai pelaku serangan untuk memojokkan mereka.

Awal pekan ini, Amnesty International (AI) mengecam kekerasan yang meningkat terhadap jurnalis di Afghanistan dan impunitas para pelaku serangan itu. "Hampir semua pembunuhan, yang selalu dilakukan oleh orang-orang bersenjata tak dikenal, tidak diselidiki," kata AI.

AI juga mengatakan, puluhan lainnya luka-luka, sedangkan jurnalis secara rutin mendapat ancaman, intimidasi, dan pelecehan karena pekerjaannya. Menghadapi situasi yang mengerikan ini dan dengan banyaknya "daftar sasaran target" bagi jurnalis yang beredar luas, banyak jurnalis meninggalkan negara itu.

Pekan lalu, masih tersisa 2.500 hingga 3.500 tentara AS yang mulai dan bersiap meninggalkan Afghanistan secara resmi. Mereka semua diharapkan sudah keluar dari negara itu sejak paling lambat 11 September 2021, tenggat yang ditetapkan Presiden AS Joe Biden.

AS juga secara terbuka memperingatkan keuntungan medan perang bagi Taliban jika semua personel pasukan AS keluar dari Afghanistan. Para pejabat di Washington mengatakan, pasukan Kabul menghadapi masa depan yang tidak pasti melawan Taliban karena penarikan dipercepat dalam beberapa minggu sejak awal Mei ini.

Korban Covid-19

Press Emblem Campain (PEC), organisasi nirlaba dengan condition konsultatif khusus PBB, melaporkan bahwa lebih dari 1.000 wartawan di seluruh dunia telah meninggal akibat penyakit Covid-19.

Di India, negara paling terdampak Covid-19 yang kini berada di urutan kedua setelah AS, ada 141 wartawan meninggal akibat pandemi Covid-19. Namun, jumlah kematian wartawan paling tinggi terjadi di Brasil, yakni ada 187 orang tewas sejak dunia dilanda pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. Adapun Peru berada di urutan ketiga setelah India, dengan 140 wartawan meninggal.

PEC mencatat, hingga kini setidaknya ada 1.248 orang telah meninggal. Mereka tersebar di 75 negara di dunia. PEC selama ini menghitung nama-nama wartawan berikut medianya, yang menjadi korban pandemi di dunia. Mereka menyampaikan belasungkawa kepada keluarga dan rekan kerja korban.

Selain itu, PEC-- badan hak dan keamanan media yang berbasis di Swiss ini-- meminta vaksinasi dini bagi jurnalis yang berada di garis depan dalam pekerjaannya. PEC juga berkomentar bahwa korban jiwa akibat pandemi tetap tinggi karena sudah lebih dari 1.200 jurnalis kehilangan nyawa mereka.

"Jurnalis terlibat dalam sebuah profesi yang secara khusus terpapar virus dan itu merupakan kerugian yang belum pernah terjadi sebelumnya pada profesi mereka. Beberapa dari mereka meninggal karena kurangnya perlindungan saat mereka bekerja," tutur PEC.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Penelitian di China Membuat Mesin Pintar Perawat Janin di Rahim Buatan

Penampakan Satu Planet Besar Yang Membuat Ilmuwan Takjub, Memiliki Ukuran 10x Lebih Besar Dari Jupiter